Kisah Sang Guru Nulis
Sebenarnya saya hanya
ingin mengatakan bahwa menulis itu dari
kita dan untuk kita jadi kita harus selalu bersemangat dan jangan pernah lelah
dalam menulis karena pada saat kita menulis sesuatu sesungguhnya kita telah
mengukir sejarah yang akan di kenang sepanjang massa, jadi sebenarnya kita
menulis untuk diri kita sendiri. Bukan untuk
siapa-siapa,. Jadi, berikanlah yang terbaik kepada tulisan kita sendiri,
Sedangkan para pembaca, adalah pihak yang ikut menikmati tulisan kita,. Dengan
begitu, maka lewat tulisan kita bisa menyampaikan apa saja dan akan tertinggal
selamanya,walaupun berpuluh tahun tulisan kita tetap abadi jadi mulailah
menulis. Baik mari kita simak kuliah online menulis kita hari in.berikut ulasan:dari
guru kita yaitu bapak Ukim komarudin.ternyata beliau memulai dengan sesuatu
yang luar biasa .
beliau berkata ……….! Intinya
mari kit abaca dulu kisah sang guru nulis
Pertama, saya berpikir,
menulis merupakan ekspresi pribadi saya. Oleh karena itu, saya merasa sangat
penting agar saya memiliki tempat mencurahkan segala kegelisahan atau apapun
bentuknya. lalu saya menemukan menulis adalah sarana yang tepat buat saya. Saya
tak pernah merasa khawatir, terkait dengan kualitas tulisan saya. Saya juga
tidak perduli dengan ragam atau apa yang
menjadi trend di masyarakat. Pokoknya menulis. Menulis adalah kebutuhan. Saya
merasa menemukan lebih tentang "saya" dengan menulis. Demikian hal
itu terus berjalan hingga jika tidak dilakukan seperti ada sesuatu yang hilang.
Demikianlah saya menulis dengan jujur, sejujur-jujurnya. Apa adanya.(Alhamdulillah
inilah pribadi yang sejati teruslah menulis apa adanaya.)
Selain menulis apa
adanya, saya pun menulis apa saja. Karena saya guru, saya menulis terkait
pelajaran, beragam kegiatan berupa proposal, liputan kegiatan yang harus
dituliskan di majalah, dan menulis buku harian. Begitu setiap saat diisi oleh
menulis. ( benar-benar penulis yang baik dan tepat sasaran )
Hingga sampai suatu
hari, tulisan-tulisan itu mulai dilirik orang-orang terdekat, yang dalam hal
ini teman-teman guru. Satu dua teman berkomentar bahwa tulisan saya bagus.
Istilah mereka, tulisan saya emotif. Kata mereka juga, tulisan saya dapat
membuat pembaca larut dalam cerita. Ada juga yang mengatakan bahwa bahasa saya
sederhana dan mudah dicerna oleh pembaca. Ada juga yang mengaku bahwa
sepenggaltulisan saya dapat dijadikan ceramah atau kultum, dsb. ( cukup banyak
komentar positif yang keluar dari sahabat bapak artinya sahabat bapak sangat
peduli terhadap bapak )
Karena komentar
tersebut, saya mencoba membukukan tulisan-tulisan saya yang selama ini merekam
semua kejadian karena saya memang senang membuat buku harian. Ada beragam
kejadian, tetapi tema besarnya, yang saya tuliskan merupakan pelajaran seorang
dewasa (guru) dari anak-anak "cerdas" yang menjadi siswanya. Oleh
karena tulisan itu beragam kejadian, beragam waktu, dan dari beragam tokoh,
maka saya menuliskan judul buku tersebut, "Menghimpun yang Berserak."
Sebuah usaha untuk mengumpulkan segenap mutiara yang berserakan dalam kehidupan
yang sangat bermanfaat bagi saya, dan semoga bermanfaat pula buat orang lain
(pembaca).ini sikap yang sangat bijaksana karena memikirkan orang banyak )
Demikianlah waktu itu,
saya yang kebetulan menjadi penanggung jawab penerbitan buku di sekolah
menyisipkan karya pribadi, selain karya bersama (berlima) menulis dan berupaya
buku mata pelajaran.( intinya bersama kita pasti berhasil dan sukses kiranya )
Dengan rasa berat
beliau melanjutkan kisah selanjutnya :
Saya diinterview terkait dua bagian buku.
Pertama, buku bersama yakni buku mata pelajaran. Kedua, buku pribadi saya,
"Menghimpun yang Berserak." Dalam kesempatan interview itulah saya
banyak mendapatkan pengetahuan terkait tips dan trik menerbitkan buku. Ini yang
sangat kami butuhkan bapak ,,,
Lalu beliau berkata Saya
banyak mendapatkan pelajaran menyangkut hal-hal yang tadinya tidak saya
pikirkan. Pelajaran atau informasi itu awalnya, membuat saya tidak nyaman
karena menabrak prinsip menulis saya. Umpamanya, "Apakah ketika saya menulis buku"menghimpun yang
Berserak" ini sudah memperkirakan akan laku di pasaran?" Kalau sudah
ada, apakah buku saya punya nilai tambah
sehingga pembaca melirik dan membeli buku saya? Untuk kepentingan pasar,
"Apakah saya bersedia apabila beberapa hal terjadi penyesuaian (diganti)?
dst. Terus terang, saya merasa kurang nyaman dengan interview itu. Saya merasa
diam-diam mulai "dipenjara". Inikan ekspresi pribadi saya, mengapa
orang lain bisa mengatur hal-hal yang sangat privasi? Menyebalkan! Begitu, oleh-oleh
pulang dari interview.( Kadang kita lupa akan hal itu,karena kita menulis
dengan tulus jadi tidak terpikir sama sekali tentang finansial di kepala kita
karena tujuan utama kita hanya menulis )
Lalu beliau lanjut
menuturkan kata , Saya yang tersadar mendapatkan ilmu pengetahuan lebi ketika
beliau menjelaskan tentang tim yang akan menyebabkan karya saya dapat dinikmati
orang banyak. Beliau menjelaskan bahwa yang menanyai saya itu mungkin editor.
sebab, beliaulah garda depan yang menentukan naskah itu layak diterbitkan atau
sebaliknya. Menurut teman saya itu, naskah saya sepertinya punya potensi atau "layak" untuk
diterbitkan. Tetapi sebagai pemula, karya saya memang harus dipoles di sana
sini.(tepat sekali pemula baru menulis dan kadang pemula bebas menuliskan apa
saja maka dari itu kita sangat membutuhkan yang namanya editor,nah kalau di
pelatihan menulis ini jelas editornya adalah omjay,jadi kita patut berterima
kasih kepada omjay )
Lalu kisah berlanjut ,Jika
nanti naskah itu bisa melewati editor, maka proses "menjadi" memang
mengalami banyak hal. Ada bagian gambar sampul, ilustrasi, photo jika
diperlukan, tata letak, dan lainnya. Yang jelas, semuanya merupakan tim saya.
Kasarnya, semuanya akan menyukseskan saya, begitu teman saya meyakinkan saya
(dukungan sahabat sangat berguna disaat kita kesusahan }.
Oleh-oleh itulah yang
menyebabkan saya menindaklanjuti pertemuan dengan penerbit. Selain hal-hal yang
umum tentang buku mata pelajaran yang ditulis bersama, saya mengkhususkan
pikiran ke buku "Menghimpun yang berserak". Yang menenangkan, editor
menceritakan bahwa semua hal menangkut buku saya selalu dalam konfirmasi.
Artinya, semuanya akan terjadi jika saya setuju,benar penulis harus setuju dulu
baru bukunya bisa di edit atau di perrenyah tentunya biar enak di baca.
Demikianlah saya
menjelani proses, hingga akhirnya ada proses sebelum naik cetak, yang sangat penting dalam proses kreatif
saya, yakni menerima dami atau calon buku yang sama persis jika akhirnya bisa
dicetak. Saya gembira sekali menerima buku dami itu. Terus terang saking
gembiranya, saya menandatangi saja kontrak kerjasama tanpa membaca persentase
yang kelak saya terima. Diduga sikap itu bukan sembrono, tetapi karena memang
saya menulis bukan untuk hal tersebut.(benar jika niat kita menuliskan sebuah
buku maka kita tidak akan pernah memikirkan apapun yang terjadi ,karena niat
kita lurus )
Dengan rasa senang yang
begitu besar beliau berkata, Akhirnya, saya mendapat konfirmasi ketika saya
dapat kabar bahwa ada meeting terkait dengan terbitnya buku saya
Pertama, saya menerima buku pribadi, kalau
tidak salah jumlahnya hanya 5 buku. Buku tersebut berstempel tidak diperjual
belikan.
Kedua, saya diajak
bicara terkait dengan teknis launching Buku "Menghimpun yang
Berserak". Ini soal bagaimana membuat buku saya laku. Saat itu saya sangat
bodoh dan kurang dapat memberikan masukan yang berarti.,kata bodoh sebenarnya
tidak ada Cuma kita belum mendapatkan informasi saja,
Ketiga, saya diberitahu
bahwa penerbit menerbitkan jumlah yang diterbitkan pada penerbitan pertama ini
dan kurang lebih 6 bulan kemudian saya baru akan mendapat royaltinya. Untuk
tersebut juga saya tidak pandai memberi masukan.
Peran saya kemudian
adalah mengusahakan buku saya dapat dinikmati orang lain. Kala itu agak sulit
karena media sosial belum sedasyat sekarang. kebetulan saya pembicara, saya
berupaya menjual buku-buku saya pada kesempatan bicara tersebut.( cukup besar
tantangannya )
Lalu beliau bertutur
lagi tenyata setelah bahagia timbul lagi derita itulah kehidupan kadang kita
bahagia kadang kita sedih ,kadang kita ingin menangis ,kadang kita ingin
tertawa,namum semuanya akan sirna bila kita tidak tau bersyukur.
Beliau melanjutkan
kisahnya ,Ada beberapa kejadian menerbitkan buku kembali, kedua, ketiga,
keempat, dan seterusnya hingga yang menjelang terakhir buku, "Arief
Rachman Guru". Semuanya mirip-mirip pengalaman dengan penerbit. Kurang
lebih, seperti itulahkira-kira. mohon maaf apabila kurang lengkap. semoga dapat
dilengkapi ketika nanti tanya jawab.
Inilah akhir kisah
beliau.
Kita bisa lihat betapa
gigihnya beliau dan betapa teguhnya beliau dalam menulis,akankah kita mengikuti
jejak beliau,yang jelas beliau pantang menyerah,sebab beliau guru jadi jika
beliau tidak tahu beliau tinggal cari tau,maka bapak ibu kita harus yakin jika
kita rajin mencari tau apapun itu maka kita akan ahli dalam hal itu
Jadi menurut pendapat
saya kita coba menulis dulu dengan baik dan benar,kemudian intropeksi
diri,bacalagi tulusan kita ,dan jadilah editor untuk tulisan sendiri.setelah
kita yakin barulah tulisan kita,kita terbitkan lewat blog atau media digital
dahulu,nanti pasti jika tulisan kita menarik penerbit akan mencari kita,
Nah intinya kita harus
benar-benar mahir dalam menulis supaya tulisan kita dilirik penerbit,sekian
terimakasih.
Ok juga siip.
BalasHapusalhamdulillah ,terimakasih
Hapus